Sabtu, 12 Juli 2014

Assalamu'alaikum Beijing!


Ajarkan aku mantra pemikat cinta Ahei dan Ashima, maka akan kutaklukkan penghalang segala rupa agar sampai cintaku padanya


Dewa dan Ra sudah lama membina kasih. Cinta yang teramat besar membuat hati mereka terikat amat kuat. Gerbang pernikahan pun telah di depan mata, selangkah lagi untuk benar-benar menjadi satu. Tapi malang tak dapat ditolak. Nafsu tak beradab menyeret Dewa pada kesalahan yang mengharuskannya menanggung tanggung jawab yang kemudian terasa menghimpitnya selama berbulan-bulan.

Lalu Ra, dengan hatinya yang terasa tak lagi utuh, tak berpikir panjang untuk menerima penugasan dari kantornya melakukan liputan ke Beijing. Perjalanan yang akhirnya mempertemukannya dengan  Zhongwen – seorang pemuda China yang amat mengagumi kisah cinta dari tentang Ahei dan Ashima dari tanah kelahirannya. Sosok Ra – yang juga dipanggil Asma – entak mengapa mengingatkan Zhongwen pada sosok Ashima.

Lalu lelaki mana yang akhirnya menjadi tempat Asma (Ra) melabuhkan hati? Pada Dewa yang tetap saja bertekad mendapatkan kesempatan kedua dari Ra setelah ia ‘memenuhi’ tanggung jawabnya, atau pada Zhongwen – yang pelan namun pasti dituntun hidayah menuju cahaya Islam? Meski perjalanan cinta Asma kemudian tak sesederhana memilih diantara dua lelaki itu, ketika takdir menuliskannya menjadi salah seorang yang ‘dianugrahi’ penyakit APS (Antiphospholipid Syndrome).

 oOo

Asma Nadia dengan gaya bahasanya yang lembut serta diksi yang indah namun tak berlebihan kembali membuat saya terpesona. Seperti novel-novel sebelumnya yang tidak dramatis bak sinetron, tetap saja membuat saya berkaca-kaca di beberapa bagian.

Apalagi pesan moral yang tersebar di sana-sini membuat novel ini tak sekedar karya fiksi kosong yang segera terlupakan sesaat setelah pembaca menamatkannya. Ya, dengan caranya yang indah, menurut saya Asma Nadia telah berhasil ‘mengemas’ nasihat dengan amat manis hingga tak terkesan menggurui dan lebih berpeluang merasuk ke hati.

“Manusia adalah tempatnya khilaf, tetapi tidak berarti setiap orang bebas mengeliminasi tanggung jawab moral yang mesti ditanggungnya, lalu berbicara seolah-olah kesalahan adalah sesuatu yang lumrah dan dengan enteng dapat ditoleransi” (Hal. 64)

“Sebab memberikan harapan pada seorang gadis, sebelum lelaki tahu persis apa yang diinginkannya, adalah sebuah kejahatan.” (hal. 147)

Hal lain yang membuat saya terpesona adalah pembentukan karakter tokoh utama yang mampu membuat saya seperti turut merasakan apapun yang dirasakannya. Tokoh utama dalam sebuah novel konon memang harus yang membuat pembaca simpatik. Tapi kadangkala ada yang lantas membuat tokoh utamanya terlampau sempurna hingga justru terkesan tidak ‘manusiawi’. Tapi tidak dengan novel ini. Asma merupakan sosok yang patut diteladani, tapi tetap membumi dan manusiawi. Ya, dan saya suka sekali dengan caranya membangun kekuatan hati ketika patah hati, juga ketika ia harus menyiasati perasaannya atas kehadiran orang baru.

Tapi, manusia tetaplah manusia yang segala karya ciptanya tak pernah luput dari kekurangan. Pun dengan novel ini. Jauh sebelum novel ini, saya telah dibuat jatuh cinta oleh novel karya Asma Nadia sebelumnya yang berjudul Cinta di Ujung Sajadah. Saya juga membaca beberapa buku Asma Nadia lagi yang lain, seperti Sakinah Bersamamu dan Catatan Hati Seorang Istri. Dan entah kenapa saya merasa gaya bertuturnya amat mirip. Mungkin ini yang dinamakan ciri khas, dan Asma Nadia telah memilikinya. Hanya saja, saat saya membaca novel ini, saya sempat merasa seperti tengah membaca sekuel dari novel Cinta di Ujung Sajadah. Menurut saya hal itu karna suasana yang terbangun dari dua novel itu terasa amat mirip. Terlebih karakter antara Cinta dan Asma – ah, saya beberapa kali ‘mengira’ mereka dua orang yang sama, hanya berubah nama. Hal ini membuat karya Asma Nadia kadang terasa sedikit monoton. Lalu menjelang bagian akhir novel ini, saya merasa agak janggal dengan membaiknya kesehatan Asma yang terasa tiba-tiba, setelah sebelumnya sebegitu drop-nya – hingga bisa ke Beijing bersama Zhongwen. Ya, bagian akhir novel ini menurut saya kurang ‘nendang’ hingga tak begitu meninggalkan kesan mendalam. Berbeda dengan novel Cinta di Ujung Sajadah. Atau karna saya yang terlanjur jatuh cinta pada novel sebelumnya itu hingga saya masih ‘gagal move on’ saat baca novel ini? bisa jadi!

But, overall… sedikit kekurangan itu sangat tertutupi dengan isi cerita dan sisipan-sisipan hikmah yang amat berbobot dalam novel ini. So, novel ini benar-benar patut menjadi salah satu novel yang harus dibaca. Fiksi yang tak sekedar fiksi tanpa isi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar